Chairil Anwar
adalah seorang penyair yang berasal dari Indonesia. Chairil Anwar mulai
terkenal dalam dunia sastra setelah pemuatan tulisannya di Majalah
Nisan pada tahun 1942, saat itu ia baru berusia 20 tahun. Ia juga
dikenal sebagai “Si Binatang Jalang” dalam karya-nya, yaitu "Aku". Ia
telah menulis sebanyak 94 karya, termasuk 70 puisi. Bersama Asrul Sani
dan Rivai Apin, ia dinobatkan oleh H.B. Jassin sebagai pelopor Angkatan
'45 sekaligus puisi modern Indonesia.
Biodata Chairil Anwar
Nama Lengkap : Chairil Anwar
Tanggal Lahir : 26 Juli 1922
Tempat Lahir : Medan, Indonesia
Pekerjaan : Penyair
Kebangsaan : Indonesia
Orang tua : Toeloes (ayah) dan Saleha (ibu)
Biografi Chairil Anwar
Chairil Anwar
dilahirkan di Medan, Sumatera Utara pada 26 Juli 1922. Ia merupakan anak
tunggal dari pasangan Toeloes dan Saleha, ayahnya berasal dari Taeh
Baruah. Ayahnya pernah menjabat sebagai Bupati Kabupaten Inderagiri,
Riau. Sedangkan ibunya berasal dari Situjug, Limapuluh Kota Ia masih
punya pertalian kerabat dengan Soetan Sjahrir, Perdana Menteri pertama
Indonesia.
Sebagai anak
tunggal yang biasanya selalu dimanjakan oleh orang tuanya, namun Chairil
Anwar tidak mengalami hal tersebut. Bahkan ia dibesarkan dalam keluarga
yang terbilang tidak baik. Kedua orang tuanya bercerai, dan ayahnya
menikah lagi. Chairil lahir dan dibesarkan di Medan, sewaktu kecil Nenek
dari Chairil Anwar merupakan teman akrab yang cukup mengesankan dalam
hidupnya. Kepedihan mendalam yang ia alami pada saat neneknya meninggal
dunia.
Chairil Anwar
bersekolah di Hollandsch-Inlandsche School (HIS), sekolah dasar untuk
orang-orang pribumi pada masa penjajahan Belanda. Dia kemudian
meneruskan pendidikannya di Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO),
sekolah menengah pertama Hindia Belanda, tetapi dia keluar sebelum
lulus. Dia mulai menulis puisi ketika remaja, tetapi tidak satupun puisi
yang berhasil ia buat yang sesuai dengan keinginannya.
Meskipun ia
tidak dapat menyelesaikan sekolahnya, tetapi ia tidak membuang waktunya
sia-sia, ia mengisi waktunya dengan membaca karya-karya pengarang
Internasional ternama, seperti : Rainer Maria Rike, W.H. Auden,
Archibald Macleish, Hendrik Marsman, J. Slaurhoff, dan Edgar du Perron.
Ia juga menguasai beberapa bahasa asing seperti Inggris, Belanda, dan
Jerman.
Pada saat
berusia 19 tahun, ia pindah ke Batavia (sekarang Jakarta) bersama dengan
ibunya pada tahun 1940 dimana ia mulai kenal dan serius menggeluti
dunia sastra. Puisi pertama yang telah ia publikasikan, yaitu pada tahun
1942. Chairil terus menulis berbagai puisi. Puisinya memiliki berbagai
macam tema, mulai dari pemberontakan, kematian, individualisme, dan
eksistensialisme.
Selain nenek,
ibu adalah wanita yang paling Chairil cinta. Ia bahkan terbiasa menyebut
nama ayahnya, Tulus, di depan sang Ibu, sebagai tanda menyebelahi nasib
si ibu. Dan di depan ibunya, Chairil acapkali kehilangan sisinya yang
liar. Beberapa puisi Chairil juga menunjukkan kecintaannya pada ibunya.
Dunia Sastra
Nama Chairil
Anwar mulai terkenal dalam dunia sastra setelah pemuatan tulisannya di
“Majalah Nisan” pada tahun 1942, pada saat itu dia berusia dua puluh
tahun. Namun, saat pertama kali mengirimkan puisi-puisinya di "Majalah
Pandji" untuk dimuat, banyak yang ditolak karena dianggap terlalu
individualistis. Hampir semua puisi-puisi yang dia tulis merujuk pada
kematian. Puisinya beredar di atas kertas murah selama masa pendudukan
Jepang di Indonesia yang tidak diterbitkan hingga tahun 1945.
Salah satu
puisinya yang paling terkenal dan sering dideklamasikan berjudul Aku
("Aku mau hidup Seribu Tahun lagi!"). Selain menulis puisi, ia juga
menerjemahkan karya sastra asing ke dalam bahasa Indonesia. Dia juga
pernah menjadi redaktur ruang budaya Siasat "Gelanggang" dan Gema
Suasana. Dia juga mendirikan "Gelanggang Seniman Merdeka" pada tahun
1946.
Kumpulan
puisinya antara lain: Kerikil Tajam dan yang Terampas dan yang Putus
(1949); Deru Campur Debu (1949), Tiga Menguak Takdir (1950 bersama
Seniman Pelopor Angkatan 45 Asrul Sani dan Rivai Apin), Aku Ini Binatang
Jalang (1986), Koleksi sajak 1942-1949", diedit oleh Pamusuk Eneste,
kata penutup oleh Sapardi Djoko Damono (1986); Derai-derai Cemara
(1998). Buku kumpulan puisinya diterbitkan Gramedia berjudul Aku ini
Binatang Jalang (1986).
Karya-karya
terjemahannya adalah: Pulanglah Dia Si Anak Hilang (1948, Andre Gide);
Kena Gempur (1951, John Steinbeck). Karya-karyanya yang diterjemahkan ke
dalam bahasa Inggris, Jerman dan Spanyol antara lain “Sharp gravel,
Indonesian poems”, oleh Donna M. Dickinson (Berkeley, California, 1960);
“Cuatro poemas indonesios, Amir Hamzah, Chairil Anwar, Walujati”
(Madrid: Palma de Mallorca, 1962); Chairil Anwar: Selected Poems oleh
Burton Raffel dan Nurdin Salam (New York, New Directions, 1963); “Only
Dust: Three Modern Indonesian Poets”, oleh Ulli Beier (Port Moresby [New
Guinea]: Papua Pocket Poets, 1969).
Ketika menjadi
penyiar radio Jepang di Jakarta, Chairil jatuh cinta kepada Sri Ayati
tetapi hingga akhir hayatnya Chairil tidak memiliki keberanian untuk
mengungkapkannya. Kemudian ia memutuskan untuk menikah dengan Hapsah
Wiraredja pada 6 Agustus 1946. Mereka dikaruniai seorang putri bernama
Evawani Alissa, namun karena masalah kesulitan ekonomi, mereka berdua
akhirnya bercerai pada akhir tahun 1948.
Puisi "Aku"
Chairil Anwar
pertama kali membaca "AKU" di Pusat Kebudayaan Jakarta pada bulan Juli
1943. Hal ini kemudian dicetak dalam Pemandangan dengan judul
"Semangat", sesuai dengan dokumenter sastra Indonesia, HB Jassin, ini
bertujuan untuk menghindari sensor dan untuk lebih mempromosikan gerakan
kebebasan. "AKU" telah pergi untuk menjadi puisi Anwar yang paling
terkenal.
"Kalau sampai waktuku
Ku mau tak seorang kan merayu
Tidak juga kau
Tak perlu sedu sedan itu
Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang
Biar peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang menerjang
Luka dan bisa kubawa berlari
Berlari
Hingga hilang pedih peri
Dan aku akan lebih tidak perduli
Aku mau hidup seribu tahun lagi
Akhir Hayat"
Karya-karya yang Membahas Mengenai Chairil Anwar
Chairil
Anwar: memperingati hari 28 April 1949, diselenggarakan oleh Bagian
Kesenian Djawatan Kebudajaan, Kementerian Pendidikan, Pengadjaran dan
Kebudajaan (Djakarta, 1953)
Boen S. Oemarjati, "Chairil Anwar: The Poet and his Language" (Den Haag: Martinus Nijhoff, 1972)
Abdul Kadir
Bakar, "Sekelumit pembicaraan tentang penyair Chairil Anwar" (Ujung
Pandang: Lembaga Penelitian dan Pengembangan Ilmu-Ilmu Sastra, Fakultas
Sastra, Universitas Hasanuddin, 1974)
S.U.S. Nababan, "A Linguistic Analysis of the Poetry of Amir Hamzah and Chairil Anwar" (New York, 1976)
Arief Budiman, "Chairil Anwar: Sebuah Pertemuan" (Jakarta: Pustaka Jaya, 1976).
Robin Anne Ross, Some Prominent Themes in the Poetry of Chairil Anwar, Auckland, 1976
H.B. Jassin, "Chairil Anwar, pelopor Angkatan '45, disertai kumpulan hasil tulisannya", (Jakarta: Gunung Agung, 1983)
Husain Junus, "Gaya bahasa Chairil Anwar" (Manado: Universitas Sam Ratulangi, 1984)
Rachmat
Djoko Pradopo, "Bahasa puisi penyair utama sastra Indonesia modern"
(Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan, 1985)
Sjumandjaya, "Aku: berdasarkan perjalanan hidup dan karya penyair Chairil Anwar (Jakarta: Grafitipers, 1987)
Pamusuk Eneste, "Mengenal Chairil Anwar" (Jakarta: Obor, 1995)
Zaenal Hakim, "Edisi kritis puisi Chairil Anwar" (Jakarta: Dian Rakyat, 1996)
Drama Pengadilan Sastra Chairil Anwar karya Eko Tunas, sutradara Joshua Igho, di Gedung Kesenian Kota Tegal (2006)
Akhir Hayat
Vitalitas
puitis Chairil tidak pernah diimbangi dengan kondisi fisiknya. Sebelum
menginjak usia 27 tahun, sejumlah penyakit telah menimpanya. Chairil
meninggal dalam usia muda di Rumah Sakit CBZ (sekarang Rumah Sakit Dr.
Cipto Mangunkusumo), Jakarta pada tanggal 28 April 1949, penyebab
kematiannya tidak diketahui pasti. Ia dimakamkan sehari kemudian di
Taman Pemakaman Umum Karet Bivak, Jakarta.
Menurut catatan
rumah sakit tersebut, ia dirawat karena tifus. Meskipun demikian, ia
sebenarnya sudah lama menderita penyakit paru-paru dan infeksi yang
menyebabkan dirinya makin lemah, sehingga timbullah penyakit usus yang
membawa kematian dirinya yakni ususnya pecah. Tapi, menjelang akhir
hayatnya ia menggigau karena tinggi panas badannya, dan di saat dia
insaf akan dirinya dia mengucap, "Tuhanku, Tuhanku...".
Makamnya
diziarahi oleh ribuan pengagumnya dari masa ke masa. Hari meninggalnya
juga selalu diperingati sebagai Hari Chairil Anwar. Kritikus sastra
Indonesia asal Belanda, A. Teeuw menyebutkan bahwa "Chairil telah
menyadari akan mati muda, seperti tema menyerah yang terdapat dalam
puisi berjudul Jang Terampas Dan Jang Putus".
Saya sangat bangga kepada sang penemu puisi
BalasHapus